MODEL PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
YANG MENGEMBANGKAN KREATIVITAS SISWA
Oleh: Slamet Trihartanto, Widyaiswara LPMP Jawa Tengah
A. Pendahuluan
Hadirnya KTSP telah membuka peluang bagi pengembangan pembelajaran yang kreatif. Hal ini nampak jelas jika kita cermati KTSP yang berbasis kompetensi. Dengan demikian, guru dapat dengan leluasa mencurahkan ide-idenya, sekaligus menghidupkan daya kreasinya dalam memberikan pengalaman belajar kepada siswa. Pemberian pengalaman belajar yang menyenangkan dan mengasyikkan diharapkan mampu menjadi sarana untuk mengembangkan potensi siswa yang usianya masih berada pada masa pertumbuhan dan perkembangan.
Harapan itu akan tinggal harapan, jika guru tidak mengubah paradigma pembelajaran. Artinya, meskipun KTSP sudah membuka peluang lebar-lebar bagi pembelajaran yang mengembangkan kreativitas siswa, hasilnya akan berpulang kepada kesiapan dan kemampuan guru. Harapan KTSP agar guru melakukan perubahan paradigma dalam pembelajaran, terutama dalam pengembangan kreativitas sudah sepatutnya menjadi perhatian semua guru.
Upaya untuk mewujudkan pembelajaran Bahasa Indonesia yang mengembangkan kreativitas siswa harus terus dilakukan oleh guru agar harapan yang dimaksud dalam KTSP dapat dicapai. Berdasarkan pertimbangan itulah, tulisan ini mencoba menawarkan model pembelajaran Bahasa Indonesia yang mampu mengembangkan kreativitas siswa. Sebelum itu dilakukan, dalam tulisan ini juga akan diuraikan tentang apa yang dimaksud belajar secara kreatif (creative learning), dan apa pentingnya belajar kreatif.
B. Arti Belajar Kreatif
Apa yang dimaksudkan dengan belajar kreatif? Apa yang dimaksudkan dengan belajar pada umumnya? Belajar dapat dibatasi sebagai suatu perubahan perilaku yang relatif tetap yang terjadi sebagai hasil dari pengalaman. Sedangkan belajar kreatif berhubungan erat dengan penghayatan terhadap pengalaman belajar yang sangat menyenangkan.
Menurut Donald J. Treffinger dalam bukunya Encoureging Creative Learning for The Gifted and Talented, belajar kreatif (creative learning) adalah proses pembelajaran yang mengupayakan proses belajar-mengajar dibuat sekomunikatif mungkin sehingga situasi belajar menjadi menyenangkan bagi siswa (1980 :1). Dalam pembelajaran ini, penyajian materi dilakukan melalui permainan, diskusi, bermain peran, dan lain-lain. Dengan demikian siswa tidak semata-mata dituntut untuk belajar sesuatu materi dari suatu bahan ajar. Dampak dari hal tersebut di atas adalah memotivasi kreativitas siswa dan pada akhirnya siswa akan mendapatkan rasa senang, puas dan pengalaman terbaik dalam hidupnya.
Torrance dan Myers, dikutip oleh Treffinger berpendapat bahwa belajar kreatif adalah
“menjadi peka atau sadar akan masalah, kekurangan-kekurangan, kesenjangan dalam pengetahuan, unsur-unsur yang tak ada, ketidakharmonisan, dan sebagainya; mengumpulkan informasi yang ada; mengidentifikasi (menemutunjukkan) unsur-unsur yang belum lengkap, mencari solusi, membuat hipotesis, memodifikasi dan menguji ulang; menyempurnakannya; dan akhirnya mengkomunikasikan atau menyampaikan hasil-hasilnya” (1980:5).
Torrance dan Myers selanjutnya juga melihat proses belajar kreatif sebagai :
“Keterlibatan dengan sesuatu yang berarti. Rasa ingin tahu dan ingin mengetahui dalam kekaguman, ketidaklengkapan, kekacauan, kerumitan, ketidakselarasan, ketidakteraturan, dan sebagainya. Kesederhanaan dari struktur atau mendiagnosis suatu kesulitan dengan mensintesiskan informasi yang telah diketahui, membentuk kombinasi baru, atau mengidentifikasi kesenjangan. Memerinci dan mendivergensi dengan menciptakan alternatif-alternatif baru, kemungkinan-kemungkinan baru, dan sebagainya. Mempertimbangkan, menilai, memeriksa, dan menguji kemungkinan. Menyisihkan pemecahan yang tidak berhasil, salah, dan kurang baik. Memilih pemecahan yang paling baik dan membuatnya menarik atau menyenangkan secara estetis. Mengkomunikasikan hasil-hasilnya kepada orang lain” (Treffinger, 1980 :6).
Sebagaimana halnya dengan pengalaman belajar yang sangat menyenangkan, pada belajar kreatif siswa terlibat secara aktif dan ingin mendalami bahan yang dipelajari. Dalam proses belajar secara kreatif digunakan proses berpikir divergen (proses berpikir ke macam-macam arah dan menghasilkan banyak alternatif penyelesaian) dan proses berpikir konvergen (proses berpikir yang mencari jawaban tunggal yang paling tepat), berpikir kritis.
C. Pentingnya Belajar Kreatif
Setelah membahas pengertian belajar kreatif dapat muncul pertanyaan, siapa saja yang perlu belajar secara kreatif dan apa pentingnya siswa belajar kreatif?
Belajar kreatif berlaku untuk semua siswa di semua jenjang pendidikan. Semua siswa memiliki sesuatu potensi kreatif. Memang, pemilikan potensi kreatif berbeda dari orang ke orang. Ada yang memilikinya banyak, ada yang sedikit. Meskipun terdapat perbedaan pemilikan yang besar dari potensi kreatif, kita harus mengakui bahwa semua siswa memiliki potensi untuk belajar kraetif.
Sesungguhnya anak-anak sebelum masuk sekolah (dan itu lebih terlihat pada saat mereka mulai dapat berbicara) merupakan contoh yang jelas bahwa mereka adalah penjelajah yang kreatif, penelusur seluk-beluk yang serba baru, penggali temuan-temuan baru. Mereka tak habis-habisnya berusaha dan mencari untuk menemukan sesuatu yang baru. Mereka tak henti-hentinya serta tak jemu-jemunya bertanya kepada orang dewasa: Apa ini?, Apa itu?, Untuk apa ini?, Untuk apa itu?, Mengapa begini?, Mengapa begitu?, dan serentetan pertanyaan sejenis lainnya. Sampai-sampai kaum dewasa dibuat kewalahan memikirkan penjelasan atau jawaban yang memadai bagi mereka. Bahkan sering kali kaum dewasa terdesak oleh serbuan pertanyaan yang bertubi-tubi itu sampai terpojok tidak dapat menemukan jawabannya, atau menemukannya tetapi sulit untuk mengungkapkannya. Sering kali pula kita dibuat terkejut, tertawa, kadang jengkel mendengar pertanyaan anak-anak seusia itu, yang sulit diramalkan atau ditebak.
Potensi kreatif yang dimiliki anak atau siswa dapat ditingkatkembangkan melalui suatu upaya latihan yang sistematis. Hasil penelitian Torance (1972) yang dikutip Conny Semiawan, dkk. menunjukkan bahwa “kelancaran, kelenturan, keaslian (originality), kecakapan memerinci, kecakapan memecahkan masalah majemuk, dan sikap yang berhubungan dengan kreativitas siswa dapatlah dikembangkan” (1984:37). Berdasarkan penemuan itu seharusnyalah para guru membuat rencana pembelajaran yang cermat dan terperinci untuk memberikan belajar kreatif kepada semua siswa. Guru harus dapat memilih model pembelajaran yang dapat mengembangkan kreativitas siswa.
Treffinger memberikan empat alasan mengapa belajar kreatif itu penting:
1. Belajar kreatif membantu anak menjadi lebih berhasil-guna jika kita tidak bersama mereka. Belajar kreatif adalah aspek penting dari upaya kita membantu siswa agar mereka lebih mampu menangani dan mengarahkan belajar bagi mereka sendiri. Dengan pesatnya perubahan masyarakat dan teknologi, kita tidak mungkin mengajarkan anak-anak sesuatu yang harus mereka tahu untuk hari depan mereka. Kita pun tidak hanya mengajarkan agar anak-anak dapat mengulang kembali ide-ide. Kita mengharapkan anak-anak dapat belajar hal-hal yang berharga dan bermanfaat bagi dirinya sehingga mereka mampu dan siap menghadapi masalah-masalah pada waktu kita tidak bersama mereka.
2. Belajar kreatif menciptakan kemungkinan-kemungkinan untuk memecahkan masalah-masalah yang tidak mampu kita ramalkan, yang timbul di masa depan. Dunia kita cepat sekali berubah. Pada sepuluh tahun terakhir ini kita saksikan perkembangan yang cepat di segala bidang : teknologi, ekonomi, sosial, pendidikan, dan sebagainya. Masalah-masalah yang kita hadapi sekarang ini sangat berbeda dengan masalah-masalah yang kita hadapi dua puluh tahun yang lalu.
3. Belajar kreatif dapat menimbulkan akibat yang besar dalam kehidupan kita. Banyak pengalaman belajar kreatif yang lebih daripada sekedar hobi atau hiburan bagi kita. Kita makin menyadari bahwa belajar kreatif dapat mempengaruhi, bahkan mengubah karir dan kehidupan pribadi kita. Di samping itu, belajar kreatif dapat menunjang kesehatan jiwa dan kesehatan jasmani kita.
4. Belajar kreatif dapat menimbulkan kepuasan dan kesenangan yang besar. Terdapat gambaran yang salah tentang orang-orang yang amat kreatif. Mereka dikenal sebagai orang yang terganggu pikirannya, hidup menyendiri, tidak bisa bergaul, dan tidak dapat menangani tekanan hidup. Gambaran semacam ini dapat pula kita temukan pada orang-orang yang tidak kreatif. Banyak orang kreatif menjadi orang yang terkenal, penuh semangat, dan berbahagia. Semangat mereka terhadap pekerjaannya dan terhadap gagasan-gagasannya dapat langsung kita saksikan, dan kesenangan mereka terhadap belajar kreatif dapat menular kepada kita (1980: 9-13).
Di samping alasan-alasan yang disampaikan Treffinger itu, dapat pula dikemukakan alasan bahwa belajar kreatif memungkinkan timbulnya ide-ide baru, cara-cara baru, dan hasil-hasil baru yang dapat memberikan sumbangan yang berharga bagi kehidupan. Nursisto yang mengutip pendapat David Campbell, menyatakan bahwa orang yang kreatif memiliki kelincahan mental, bisa berpikir dari segala arah, maupun ke segala arah. Mereka juga mempunyai keluwesan konseptional, orisinalitas, menyukai kompleksitas daripada simplisitas, serta mempunyai latar belakang yang merangsang. Ciri-ciri tersebut masih ditambah lagi dengan beberapa ciri yang lain, seperti kerja keras, mandiri, pantang menyerah, lebih tertarik pada konsep besar, punya rasa humor dan fantasi, serta tidak menolak gagasan baru yang menghadangnya (2000:2). Menurut Bambang Kaswanti Purwo, orang yang kreatif tidak mengandalkan diri pada daya hafal, tetapi pada kemampuan untuk melihat apa yang tidak dilihat orang lain, kemampuan untuk menghubung-hubungkan berbagai hal atau benda yang kelihatannya tidak saling berkaitan (1997:33).
Berdasarkan berbagai alasan di atas, belajar kreatif harus merupakan aspek yang penting dan mendasar dari pendidikan anak. Alangkah indahnya jika kreativitas dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah dapat mencakup beberapa bagian dari sifat-sifat yang dimiliki orang kreatif di atas. Dengan demikian, pelajaran Bahasa Indonesia tidak akan menjadi pelajaran yang membosankan tetapi pelajaran yang menyenangkan, mengasyikkan, menguatkan, dan mencerdaskan bagi siswa.
D. Model Pembelajaran Bahasa Indonesia Yang Mengembangkan Kreativitas
Setelah kita menyadari pentingnya belajar untuk anak atau siswa, apa yang harus kita lakukan? Bagaimana model pembelajaran Bahasa Indonesia yang dapat mengembangkan kreativitas siswa?
Pada tulisan ini, penyajian tentang bagaimana cara guru membelajarkan Bahasa Indonesia akan dilakukan dengan mengajukan beberapa cara yang dapat ditempuh untuk mengembangkan kreativitas berdasarkan pengetahuan dan pengalaman penulis. Model yang ditawarkan dalam tulisan ini dapat diterapkan di semua jenjang sekolah dengan melakukan penyesuaian berdasarkan perkembangan jiwa dan pengetahuan anak.
Model pembelajaran Bahasa Indonesia yang dapat mengembangkan kreativitas siswa adalah seperti yang terurai berikut ini.
1. Mengarang Secara Beranting.
Model ini sangat menarik untuk melatih keterampilan siswa dalam menulis atau mengarang. Sangat tepat untuk menerapkan konsep learning sociaty (masyarakat belajar) dalam pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning). Sejauh pengalaman penulis dalam menerapkan cara ini, ternyata dengan model mengarang secara beranting siswa belajar dengan senang. Ketika karangan itu selesai, lalu dibaca dan dibahas ditemukan beberapa hal yang menarik dalam kaitannya dengan penulisan ejaan, kohesi dan koherensi, logika, diksi, dan sebagainya.
Tahapan dalam menerapkan metode ini dapat ditempuh sebagai berikut:
a. Bagilah kelas menjadi beberapa kelompok (3-4 kelompok).
b. Siswa pertama dalam setiap kelompok mulai menuliskan kalimat pertama. Kemudian dilanjutkan oleh siswa berikutnya, dan seterusnya sampai selesai. Kalimat pertama dapat dibuat oleh guru, yang masing-masing kelompok dapat berbeda-beda.
c. Tentukan batas waktu dalam kegiatan ini (misalnya 15 menit).
d. Setelah semua siswa menyumbangkan kalimatnya dalam karangan bersama ini maka karangan ini harus dibahas segera di kelas. Berikan perbaikan pada kalimat yang salah dan pujian terhadap kalimat atau upaya siswa yang menarik.
e. Lanjutkan dengan penugasan kepada siswa untuk mengarang secara individual dengan topik, panjang karangan, waktu mengarang yang ditentukan guru.
2. Mengamati Gambar dan Bercerita atau Mengarang.
Guru menyiapkan gambar, dapat berupa gambar tunggal atau gambar seri (misalnya 5-8 gambar yang merupakan rangkaian cerita). Kegiatan pertama siswa diminta mengamati, mencari sesuatu di dalam gambar, mengembangkan kosakata dari gambar itu, untuk kemudian menyusunnya menjadi cerita atau karangan. Kegiatan mengamati dan bercerita atau mengarang ini sebaiknya dilakukan secara kelompok agar terjadi diskusi antara mereka. Guru dapat melihat bagaimana keterlibatan siswa dalam diskusi. Jika batas waktu yang ditentukan telah selesai dan siswa sudah siap dengan karangan atau ceritanya, maka saatnya melihat penampilan mereka di depan kelas.
Tujuan kegiatan belajar ini untuk mengembangkan keterampilan berbicara atau menulis. Di samping itu diharapkan siswa dapat mengembangkan imajinasinya, berani berpendapat, dan dapat mengaitkan peristiwa pada gambar satu dengan gambar lainnya hingga menjadi satu kesatuan.
3. Pengembangan Fantasi Korelatif
Dalam pengembangan fantasi korelatif, siswa diminta mencari pertautan hubungan antara suatu benda dengan benda lain yang keberadaannya saling melengkapi.
Contoh:
Jika kita berbicara tentang laut maka benda-benda yang harus dihadirkan di dalam ruang angan siswa adalah ombak, buih, gelombang, angin, matahari terbit dan tenggelam, pasir, kapal, perahu, jaring, kail, ikan, nyiur, batu karang, pelabuhan, mercu suar, lelang ikan, burung camar, tamasya, dan sebagainya.
Tujuan pengembangan kreativitas korelatif adalah agar siswa terbiasa untuk melanjutkan atau menambah semaksimal mungkin hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan masalah pokok. Dengan demikian, kemampuan siswa terus berkembang dan mendorong tumbuhnya sikap optimistis. Bila siswa terlatih dalam hal ini, kemampuannya untuk menemukan unsur terkait dan korelatif dalam banyak hal akan semakin terbina.
Setelah siswa diajak mendaftar kata yang berkaitan dengan tema Laut misalnya, selanjutnya mereka diajak menulis puisi, karangan, cerita, dan sebagainya dengan memanfaatkan kosakata yang diperolehnya dari tema yang ditentukan. Dengan demikian diharapkan mereka menguraikan tema karangan atau cerita lisan yang sesuai atau berkaitan dengan tema yang ditentukan.
Sudah barang pasti kemampuan siswa untuk melakukan kegiatan tersebut harus terus dilatihkan. Sang guru pun harus mau sedikit sibuk memeriksa dan memberi penilaian terhadap hasil kerja siswa. Berikut ini contoh latihan yang dapat dilakukan siswa untuk mengkorelasikan suatu kata.
Korelasikan setiap kata di bawah ini dengan penambahan masing-masing 10 kata!
a. sawah
b. gunung
c. musik
d. beternak
e. kerja bakti
f. pasar
4. Pengembangan Fantasi Komplementer.
Dalam pengembangan fantasi komplementer, siswa diminta untuk menjodohkan atau menambahkan satu kata di depan kata yang telah disediakan sehingga terbentuk satu pasangan kata yang mengandung makna lain.
Contoh:
Dari kata mata, bila ditambahkan kata di depan atau dibelakangnya akan menjadi rangkaian
a. mata angin;
b. mata dewa;
c. mata hati;
d. mata rantai;
e. mata-mata;
f. mata sapi;
g. matahari;
h. mata keranjang;
i. mata kaki;
j. sebelah mata;
k. kacamata;
l. air mata buaya;
m. tidak menutup mata;
n. ikut hati mati, ikut mata buta.
Tujuan membangun fantasi komplementer adalah agar kreativitas siswa berkembang. Dengan cara ini pula, siswa dibiasakan untuk mencoba mengupayakan sekuat tenaga mencari pertalian antara kata dengan kata lain, baik yang bermakna sebenarnya maupun berupa ungkapan, pepatah, atau peribahasa.
Lebih daripada itu, dengan cara seperti ini siswa akan terlatih untuk aktif mencari dan akhirnya menemukan seuatu yang diinginkan jika mau kerja keras sehingga siswa tidak cepat menyerah.
Contoh untuk latihan pengembangan selanjutnya:
Tuliskanlah sekurang-kurangnya 10 kata komplementer dengan kata-kata di bawah ini!
a. anak
b. bibir
c. jalan
d. buah
e. tangan
f. air.
5. Pengembangan Fantasi dengan Intonasi.
Pengembangan fantasi dengan intonasi dapat dilakukan pada sebuah kata, kelompok kata, kalimat, bahkan dialog. Model pembelajaran ini diadaptasi dari “Teknik Memberi Isi” yang lazim dilakukan dalam bermain drama. Dengan cara ini, siswa diharapkan memiliki kekayaan batin tentang berbagai perasaan, seperti sedih, senang, puas, terkejut, menyesal, cemas, kecewa, lega, kagum, ragu-ragu, dan sekian banyak lagi perasaan yang timbul guna menanggapi situasi tertentu.
Contoh:
Ucapkanlah kata-kata di bawah ini dengan berbagai intonasi yang menunjukkan perasaan tertentu!
a. Gila.
b. Aduh.
c. Luar biasa.
d. Aku tahu.
e. Kamu pasti bisa.
Saat mengucapkan kata itu, perbolehkan siswa secara improvisasi menambahkan kata atau kalimat lain. Apabila dipadukan dengan ekspresi dan gerak tubuh yang sesuai, maka model pembelajaran ini akan menarik dan menyenangkan bagi siswa. Teknik di atas perlu dikembangkan dengan latihan mengucapkan kalimat yang relatif panjang serta ditentukan nada yang diinginkan.
6. Mengembalikan Bentuk Asli Puisi.
Mengembangkan daya kreasi dapat dilakukan dengan cara membubuhkan kembali huruf kapital dan tanda baca pada puisi yang terlebih dahulu ditulis tanpa huruf besar dan tanda baca juga pembaitannya.
Contoh :
Berilah tanda baca, huruf kapital, dan pembaitan sehingga puisi di bawah ini terbentuk secara utuh!
TANAH KELAHIRAN
seruling di pasir ipis merdu
antara gundukan pohon pina
tembang menggema di dua kaki
burangrang – tangkubanprahu
jamrut di pucuk-pucuk
jamrut di air tipis menurun
membelit tangga di tanah merah
dikenal gadis-gadis dari bukit
nyanyikan kentang sudah digali
kenakan kebaya merah ke pewayangan
jamrut di pucuk-pucuk
jamrut di hati gadis menurun
Ramadhan K.H.
Bandingkan pekerjaan siswa dengan bentuk asli puisi tersebut, sebagai berikut.
TANAH KELAHIRAN
Seruling di pasir ipis, merdu
antara gundukan pohon pina,
tembang menggema di dua kaki,
Burangrang-Tangkubanprahu.
Jamrut di pucuk-pucuk
Jamrut di air tipis menurun.
Membelit tangga di tanah merah
dikenal gadis-gadis dari bukit,
Nyanyikan kentang sudah digali,
Kenakan kebaya merah ke pewayangan.
Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di hati gadis menurun.
Ramadhan K.H.
7. Parafrase Puisi.
Parafrase dilakukan dengan cara menambahkan penanda hubungan meliputi tanda baca, kata, kelompok kata, atau kalimat pendek yang dapat disisipkan di antara kata-kata dalam larik-larik puisi.
Dengan adanya penanda hubungan tersebut, antara larik satu dan larik lainnya terjalinlah suatu pengertian yang padu sehingga puisi terkesan memprosa dan makna yang terkandung di dalam puisi lebih mudah dipahami.
Contoh:
Jalan Segara
Di sinilah penembakan
kepengecutan
dilakukan
Ketika Pawai bergerak
Dalam panas matahari
Dan pelor membayar pajak
negeri ini
Ditembakkan ke punggung
Anak-anaknya sendiri
Taufik Ismail
Diberi penanda hubungan menjadi sebagai berikut
(Peristiwa di) Jalan Segara
(Para pembaca) di sinilah (telah berlangsung)
penembakan
(Hal itu menunjukkan) kepengecutan
(yang sudah) dilakukan (oleh Orde Baru)
Ketika (itu) pawai (para demonstran) bergerak
(Meskipun) Dalam panas matahari (membakar kulit)
Dan (terdengar) pelor (ditembakkan), (dengan kejadian itu demonstran) membayar pajak (dengan cucuran darah)
(Bagi) Negeri (tercinta) ini
(Pelor mesiu) ditembuskan ke punggung (mereka)
(Padahal, mereka itu) Anak-anaknya sendiri.
8. Menyusun Kata Menjadi Kalimat
Menyusun kata menjadi kalimat adalah merangkai beberapa kata lepas dalam susunan kata yang mengandung makna lengkap.
Contoh :
a. sore
b. saya
c. dokter
d. kehadiran
e. menanti
f. itu
Bila disusun menjadi kalimat, kata-kata itu menjadi,
Saya menanti kehadiran dokter sore itu.
Tugas:
Susunlah kata-kata di bawah ini agar menjadi sebuah kalimat!
a. bila
b. semua
c. dipuji
d. orang
e. hampir
f. senang
9. Menyusun Kalimat Berdasarkan Pola Tertentu
Masih ingat kalimat “Ali memukul anjing”? Kalimat itu boleh disebut kalimat yang populer manakala siswa diminta membuat kalimat aktif. Setera dengan “Nyiur melambai-lambai di pantai” saat siswa diminta membuat kalimat bermajas personifikasi. Salah satu cara untuk mengatasi kemiskinan kosakata siswa dalam menyusun kalimat adalah dengan model pembelajaran menyusun kalimat berdasarkan pola tertentu.
Langkahnya sebagai berikut:
1. Guru menentukan pola tertentu, misalnya SD.
2. Contohkan pengembangan kalimat dari pola SD, misalnya:
q Saya datang.
q Siapa dia?
q Sudah selesai.
3. Siswa melanjutkan meneruskan membuat kalimat sebanyak mungkin berdasarkan pola tersebut. Syaratnya tidak boleh mengulang kata yang sudah dipakai.
4. Guru menentukan beberapa pola kalimat tertentu, misalnya SMS, ABK, KBK, atau yang lainnya. Masing-masing siswa berlomba menyusun kalimat sebanyak mungkin dalam waktu yang ditentukan guru.
5. Berilah kesempatan kepada siswa yang paling banyak menyusun kalimat berdasarkan pola tertentu. Pujian secara lisan seperti “Hebat”, “Luar biasa”, “Wow, keren”, atau acungan jempol, tepukan di pundaknya, tepuk tangan perlu dilakukan guru terhadap siswa.
Demikianlah beberapa model yang dapat dilakukan dalam pembelajaran bahasa Indonesia untuk mengembangkan daya kreasi siswa. Masih banyak cara lain yang dapat dilakukan oleh guru di sekolah untuk menjadikan pelajaran bahasa Indonesia menjadi menarik, menyenangkan, dan bermakna.
E. Penutup
Demikianlah, telah penulis uraikan model pembelajaran bahasa Indonesia secara kreatif. Dengan sejumlah model pembelajaran yang telah penulis tawarkan di atas, dapat diyakini bahwa kreativitas siswa akan berkembang. Jika guru senantiasa menggunakan model pembelajaran yang mengembangkan daya kreasi siswa, dapat diyakini pula bahwa pelajaran bahasa Indonesia akan dirasakan siswa sebagai pelajaran yang menyenangkan bahkan favorit. Bila kondisi itu terjadi maka dapatlah kita berharap mutu pembelajaran bahasa Indonesia akan meningkat lebih baik.
Selamat berkreasi dalam pembelajaran bahasa Indonesia untuk mengembangkan kreativitas siswa serta meningkatkan mutu pendidikan!
DAFTAR BACAAN
Hendrikus, Dori Wuwur. Retorika. Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Kaswanti Purwo, Bambang. Pokok-Pokok Pembelajaran Bahasa dan Kurikulum 1994: Bahasa Indonesia. Jakarta : Pusat Perbukuan Depdikbud, 1997.
Nursisto. Kiat Menggali Kreativitas. Yogyakarta: Mitra Gama Widya, 2000.
Semiawan, Conny, et. al. Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah: Petunjuk bagi Guru dan Orang Tua. Jakarta : Gramedia, 1984.
Treffinger, D.J. Encouraging Creative Learning for the Gifted and Talented : a handbook of methods and technique. Ventura, California, 1980.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar